Blogger templates

Selasa, 20 November 2012

HUKUM MENJAMAK SHOLAT


Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم -  يَجمَعُ بَينَ صَلاةِ الظُّهرِ وَالعَصرِ إِذَا كَانَ عَلَى ظَهرِ سَيرٍ، وَيَجمَعُ بَينَ المَغرِبِ وَالعِشَاءِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa menjamak antara zuhur dan ashar jika sedang dalam perjalanan. Beliau juga menjamak antara maghrib dan isya.” (HR. Al-Bukhari no. 1107)
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhu dia berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَعْجَلَهُ السَّيْرُ فِي السَّفَرِ يُؤَخِّرُ صَلَاةَ الْمَغْرِبِ حَتَّى يَجْمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْعِشَاءِ
قَالَ سَالِمٌ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَفْعَلُهُ إِذَا أَعْجَلَهُ السَّيْرُ وَيُقِيمُ الْمَغْرِبَ فَيُصَلِّيهَا ثَلَاثًا ثُمَّ يُسَلِّمُ ثُمَّ قَلَّمَا يَلْبَثُ حَتَّى يُقِيمَ الْعِشَاءَ فَيُصَلِّيهَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُسَلِّمُ وَلَا يُسَبِّحُ بَيْنَهُمَا بِرَكْعَةٍ وَلَا بَعْدَ الْعِشَاءِ بِسَجْدَةٍ حَتَّى يَقُومَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika beliau tergesa-gesa dalam perjalanan, beliau menangguhkan shalat maghrib dan menggabungkannya bersama shalat isya”.
Salim (anak Ibnu Umar) berkata, “Dan Abdullah bin Umar radhiallahu anhu juga mengerjakannya seperti itu bila beliau tergesa-gesa dalam perjalanan. Beliau mengumandangkan iqamah untuk shalat maghrib lalu mengerjakannya sebanyak tiga raka’at kemudian salam. Kemudian beliau diam sejenak lalu segera mengumandangkan iqamah untuk shalat isya, kemudian beliau mengerjakannya sebanyak dua rakaat kemudian salam. Beliau tidak menyelingi di antara keduanya (kedua shalat yang dijamak) dengan shalat sunnah satu rakaatpun, dan beliau juga tidak shalat sunnah satu rakaatpun setelah isya hingga beliau bangun di pertengahan malam (untuk shalat malam).” 
(HR. Al-Bukhari no. 1109)
Dari Muadz bin Jabal radhiallahu anhu dia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ وَفِي الْمَغْرِبِ مِثْلُ ذَلِكَ إِنْ غَابَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُمَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Tabuk, ketika matahari telah tergelincir sebelum beliau berangkat, maka beliau menjamak antara shalat zuhur dan ashar (jamak taqdim). Dan jika beliau berangkat sebelum matahari tergelincir, maka beliau mengundurkan shalat zuhur sehingga beliau singgah untuk shalat Ashar (lalu mengerjakan keduanya dengan jamak ta`khir). Demikian pula ketika shalat maghrib, apabila matahari terbenam sebelum beliau berangkat, maka beliau menjamak antara maghrib dan isya (dengan jamak taqdim), dan jika beliau berangkat sebelum matahari terbenam maka beliau mengakhirkan shalat maghrib hingga beliau singgah pada untuk shalat isya, kemudian beliau menjamak keduanya (dengan jamak ta`khir).” (HR. Abu Daud no. 1220, At-Tirmizi no. 553, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 1344)

Penjelasan ringkas:
Di antara kemudahan yang Allah Ta’ala berikan kepada para hamba adalah Dia mensyariatkan kepada mereka untuk menjamak shalat dalam keadaan safar. Hal itu karena musafir -biasanya- mendapatkan kesulitan dan kerepotan kalau mereka harus singgah ke sebuah tempat untuk mengerjakan setiap shalat pada waktunya masing-masing. Karenanya, boleh bagi musafir untuk menjamak shalat maghrib dan isya pada waktu salah satu dari keduanya (taqdim atau ta`khir) dan demikian pula antara shalat zuhur dan ashar. Jamak ini boleh dia lakukan selama dia masih berstatus sebagai musafir, baik sedang dalam perjalanan maupun dia singgah di sebuah tempat. Semua ini berdasarkan dalil-dalil yang tersebut di atas.

Hukum jamak shalat bagi musafir
Tidak ada satupun dalil yang memerintahkan jamak shalat bagi musafir, yang ada hanyalah nukilan ada perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karenannya, hukum jamak shalat bagi musafir adalah sunnah dan tidak sampai dalam derajat wajib, berbeda halnya dengan qashar shalat yang hukumnya wajib bagi musafir.

Azan dan iqamah dalam shalat jamak
Dalam menjamak dua shalat, disyariatkan untuk mengumandangkan azan di awal dari dua shalat tersebut dan keduanya serta iqamah di awal kedua shalat tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu dimana beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم -  صَلَّى الصَّلاتَينِ بِعَرَفَةَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتِينِ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasalam mengerjakan (menjamak) dua shalat di Arafah dengan sekali azan dan dua kali iqamah.” (HR. Muslim no. 1818)
Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma di atas.

Jamak shalat jumat dan ashar
Tidak ada satupun dalil yang mengecualikan shalat jumat dari keumuman hadits-hadits tentang jamak shalat. Karenanya dibolehkan untuk menjamak shalat jumat dengan shalat ashar berdasarkan keumuman semua dalil di atas. Seandainya shalat jumat mempunyai hukum tersendiri yang berbeda dengan shalat-shalat lainnya dalam hal menjamak, niscaya para sahabat dan para ulama setelahnya akan semangat dalam menukilnya karena hukum tersebut keluar dari hukum asal. Karenanya, tatkala tidak ada satupun nukilan dari para sahabat radhiallahu anhum yang membedakan antara shalat jumat dengan selainnya. Dan barangsiapa yang hendak membedakannya maka hendaknya dia mendatangkan dalilnya, wallahu a’lam.

Hukum shalat jumat bagi musafir
Sehubungan dengan pembahasan di atas kami katakan: Tidak disunnahkan bagi musafir untuk mengerjakan shalat jumat, akan tetapi dia disyariatkan untuk hanya mengerjakan shalat zuhur lalu menjamaknya dengan ashar -jika dia ingin-.
Dalil dalam masalah ini adalah tidak adanya satupun dalil yang menunjukkan kalau Nabi dan para sahabat beliau mengerjakan shalat jumat dalam keadaan safar. Di antarnya adalah hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma yang panjang dalam riwayat Muslim no. 1218 tentang sifat haji Nabi shallallahu alaihi wasallam, sementara para ulama menyebutkan bahwa hari arafah pada tahun itu jatuh pada hari jumat. Jabir berkata setelah menyebutkan isi khutbah beliau di Arafah, “Kemudian Bilal mengumandangkan azan kemudian iqamah kemudian beliau mengerjakan shalat zuhur. Kemudian iqamah kembali dikumandangkan lalu beliau shalat ashar, dan beliau tidak melakukan shalat sunnah satu rakaat pun di antara keduanya.”
Dari shalat yang beliau lakukan di Arafah pada hari jumat di atas berbeda bukanlah shalat jumat, ditinjau dari empat perkara:
1.    Jabir menamakannya sebagai shalat zuhur dan bukan shalat jumat.
2.    Azan di sini dikumandangkan setelah khutbah, sementara pada shalat jumat, azan dikumandangkan sebelum khutbah.
3.    Hadits Jabir di atas hanya menyebutkan sekali khutbah, sementara shalat jumat memiliki dua khutbah.
4.    Tidak dinukil bacaan beliau pada kedua rakaat tersebut, padahal Jabir menukil bacaan beliau pada shalat sunnah tawaf. Ini menunjukkan shalat yang beliau lakukan saat itu adalah shalat sirriah. Maka shalat ini tentunya bukanlah shalat jumat karena shalat jumat adalah shalat jahriah.
Sejumlah ulama seperti Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar (5/76), Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah, dan selainnya menukil kesepakatan ulama akan tidak adanya shalat jumat bagi musafir. Hanya saja nukilan ijma’ ini kurang detail karena Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat tetap wajibnya jumat bagi musafir. Karenanya ini hanya merupakan pendapat mayoritas ulama, dan inilah pendapat yang kuat insya Allah.

Jika musafir shalat jumat, apakah shalatnya syah?
Tatkala Nabi shallallah alaihi wasallam tidak pernah shalat jumat dalam keadaan safar, maka sudah bias dipastikan bahwa amalan mengerjakan shalat jumat dalam keadaan safar adalah salah dan menyelisihi tuntunan beliau, serta pelakunya telah terjatuh ke dalam dosa penyelisihan kepada Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam. Hanya saja, apakah shalat jumatnya dan khutbahnya -jika dia adalah khatib- syah atau batal? Wallahu a’lam, pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran adalah pendapat mayoritas ulama yang menyatakan syahnya shalat jumat serta khutbahnya walaupun dia berdosa. Sebagaimana halnya jika ada seorang musafir yang shalat itmam (4 rakaat), maka shalatnya syah akan tetapi dia berdosa karena menambah 2 rakaat dimana Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah menambahnya dalam safar.

Kapan musafir mulai boleh menjamak?
Dari hadits Muadz bin Jabal di atas menunjukkan bolehnya menjamak shalat walaupun masih berada di negerinya, selama dia sudah ada niat untuk mengerjakan safar. Karenanya, jika dia sudah ada niat untuk berangkat setelah shalat zuhur, maka ketika shalat zuhur dia sudah bisa menjamaknya dengan shalat ashar walaupun dia masih belum memulai perjalanan.
Jika setelah menjamak, dia mengundurkan perjalanannya -karena ada uzur- hingga masuk shalat ashar, maka dia tidak wajib mengulangi shalat asharnya, karena shalatnya yang pertama tadi sudah mencukupi. Hanya saja jika dia sedang berada di dalam masjid sementara shalat ashar didirikan atau dia sengaja datang ke masjid untuk shalat ashar, maka shalatnya saat itu dia niatkan sebagai shalat sunnah dan bukan niat shalat ashar.
Tidak boleh dia mengerjakan shalat ashar kembali dengan alasan shalat ashar yang pertama itu dirubah menjadi shalat sunnah, karena merubah niat dalam keadaan seperti itu tentunya tidak memberikan pengaruh apa-apa. Demikian pula tidak boleh walaupun alasannya untuk berjaga-jaga, karena itu lebih mendekati amalan was-was daripada amalan ihtiyath (jaga-jaga).

Adapun masalah kapan seorang dikatakan musafir sehingga diperbolehkan menjamak. Demikian pula berapa lama dia boleh menjamak, maka jawabannya sama seperti pada pembahasan qashar shalat bagi musafir dalam artikel sebelumnya.
[Rujukan utama: Dhiya` As-Salikin fii Ahkam wa Aadab Al-Musafirin karya Asy-Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri hafizhahullah

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost